Upsidedown is a WordPress theme design that brings blog posts rising above inverted header and footer components.

Titik Balik

Written in

oleh

Banyak hal yang tak bisa kita ungkapkan lewat kata-kata. Banyak hal yang tak terungkapkan bahkan oleh pikiran dan indra kita sendiri. banyak hal yang terlewati yang tidak kita sadari. Banyak hal yang membuat kita banyak merenung dan merendah atas kejadian-kejadian di sekitar kita. Banyak usaha yang tak sesuai dengan apa yang kita tuju. Banyak hal yang tak pernah kita inginkan muncul dan terjadi pada kita. Atas kejadian itu kita menemukan secercah senyuman merekah di bibir hitam kita. Hal-hal kecil yang kita rindukan, tertawakan dan menangisinya. Pernah sangat menyukai kesenyapan, kesepian namun suatu ketika membencinya dan berpindah ke keramaian, pemberontakan bahkan hal-hal bodoh.

Setidaknya, itulah kesimpulan parsial dari perjalanan hidup yang aku lalui beberapa tahun ini. Aku hanya ingin mengatakan kepada kalian bahwa hidup sebenarnya tak terlalu rumit juga tak terlalu mudah. Hidup ku bahkan hidup sebagian besar orang di dunia ini, hanyalah begitu-begitu saja. Datang masalah dan berusaha menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang setiap orang berbeda namun ia masih berpijak ke bumi. Tak pernah manusia menyelesaikan masalah dengan cara malaikat. Manusia menyelesaikan masalahnya dengan bahasa, kata-kata dan tindakan. Atau menggunakan jasa orang lain. Begitu begitu saja.

Ada hal yang baik yang menimpa kita. Orang lain pun mengalaminya. Ada hal yang buruk menimpa kita, orang lain pun mengalaminya. Ada saat penderitaan datang kepada kita. Orang lain pun mengalaminya. Semua manusia kalau ia masih manusia, kurang lebih mereka akan mengalami “penderitaan’’ dan “kebahagiaan” yang sama-sama. Cara menyelesaikannya saja yang agak berbeda itupun dalam tataran penyelesaian tingkat manusia. Dalam arti keberpijakan di bumi. Maka tak usah iri dengan yang hari ini terlihat senyum bahagia. Tak usah terlalu bersedih bertemu orang hari ini terlihat melarat dan menyedihkan. Semua punya bagiannya masing-masing.

Sawang sinawang! Filsafat Jawa yang sangat luar biasa ini banyak mempengaruhi jalan hidupku akhir-akhir ini. Ternyata aku baru menyadari. Tidak selalu lewat membaca buku-buku agama yang panjang dan menarik membahas tentang pandangan atas hidup. Penjelasan para filsuf dan ahli tasawuf tak mampu memberikan pencerahan dalam diri kita. Tapi bisa jadi seungkapan kalimat kecil yang diucapkan oleh sahabat kita dengan gaya guyonnya mampu membuat kita tersentak seketika.

Tidak ada penyelesaian masalah yang lebih efisien dan mudah kecuali menatapnya dengan tegar dan senyuman dan mengetahui falsafah hidup yang sesungguhnya. Falsafah hidup itu dapat kita temukan dalam setiap peradaban yang pernah ada dan eksis di dunia ini. Ajaran-ajaran kebijaksanaan para filsuf, agama dan para sufi. Mereka semua adalah perantara antara kita dan sang Maha pemberi ketenangan dalam hidup.

Aku harus menjelaskan bahwa apa yang aku katakan itu adalah apa yang aku alami. Tapi apakah setelah aku menyadarinya aku bisa lebih bijaksana menjalani hidup? Tidak kawan. Tidak! aku bahkan seringkali berdebat dengan diriku sendiri dalam perenungan-perenungan liar. Aku sering kali kalah dalam melewati etape hidup. Tapi bukankah dengan itu hidup berjalan? Seperti kata ilmuan bahwa kehidupan yang seringkali terombang ambing, dipenuhi cobaan, hinaan, terpojok, bahkan terinjak-injak justru membuat kita survive. Lebih mampu melewati drama hidup.

Tengoklah biografi tokoh-tokoh besar dunia. Rata-rata mereka dilahirkan dari proses panjang yang menyiksa. Menguras air mata dan seebrek penderitaan. Soekarno, tokoh proklamator negeri ini menceritakan dalam buku biografinya yang ditulis oleh Cindy Adam membeberkan bagaimana darama hidupnya jauh sebelum ia menjadi tokoh yang dikenal dan terkenal di seantero Indonesia dan dunia. Ia hidup dalam kemiskinan. Bahkan dalam perjuangannya di masa-masa pergerakan.

Aku juga mengakui, teori tak mudah diterapkan dalam kehidupan. Bahkan sangat susah dan rumit. Aku seringkali dikalahkan oleh rasa empati terhadap diriku sendiri. merasa harus dikasihi dan sebagainya. Tapi tidak berhenti disitu saja. Sebab ketika berhenti maka aku kalah oleh hidup. Aku melakukan perlawanan terhadap perasaan-perasaan yang bergema sesaat dalam angan. Maka aku sering bersedih tatkala penderitaan itu menghampiri. Aku juga bisa sangat kegirangan jika kebahagiaan menghampiri. Tapi begitulah hidup. Setiap orang memiliki jalan yang ditempuhnya—berdasarkan titah Tuhan. Sebagaimana orang, aku juga sedang menjalani hidup berdasarkan titahnya. Maha kuasa-Nya yang mampu menggerakkan apa pun berdasarkan kehendaknya.

Fasril (semoga Allah merahmatinya di alam sana), teman sekelasku itu mengakhiri perjalanan hidupnya dengan pemutus segala kenikmatan yakni kematian. Ia adalah remaja aktif dan pernah menjadi ketua OSIS di sekolah. Kami telah bersama sejak pertama kali masuk di bangku SD tahun 1999 yang lalu. Kisahnya berakhir ketika ajal menjemputnya beberapa minggu setelah sakit keras menimpanya. Saat itu ia telah duduk di bangku SMA.

Kesedihan menyelimuti rumahnya; keluarga besarnya, kawan-kawannya, guru-gurunya dan semua orang yang pernah mengenalnya. Lelaki segagah itu akhirnya tak memiliki kekuatan apa-apa dalam menghadapi sakaratul maut. Apa yang aku katakan sebagai hal-hal tak terduka yang mampu membuat kita tersenyum simpul atau membuat kita bahagia kegirangan atau sedih yang menyiksa adalah hal yang sering kali terjadi pada setiap orang di dunia ini. Siapa pun dia.

Ada masa ketika kesombongan karena akal kita yang cerdas dan pandai itu berubah menjadi bodoh. Sangat mudah bagi-Nya membuat kita yang merasa superior ini lemah tak berdaya. Tiba-tiba saja kepala kita terbentur mengenai aspal dan perubahan besar terjadi pada diri kita; akal yang cerdas itu bahkan lupa akan dirinya sendiri. kecerdasannya hilang seketika. Lalu kemana kesombongan itu? Hilang!

Ada masa ketika kecantikan dan kegantengan yang kita bangga-banggakan itu terenggut dari kita. Cukup tergesek aspal saja sudah cukup mampu merubah hidup kita bahkan terpengaruh terhadap kondisi psikologis. Lalu sampai kapan kita tak sadar bahwa kecantikan dan kegantengan itu bukan apa-apa? Para filsuf seperti Socrates bahkan mengatakan: “Lebih baik jelek tapi cerdas dari pada bodoh seperti babi”. Kecerdasan kita lebih dihargai di dunia yang ramah daripada di dunia materialism.

Rasa besar diri memang sering sekali menjangkiti dan tumbuh di dalam hati. Bahkan aku yang masih sering sekali merasa lebih baik, lebih pintar, lebih bisa dari orang lain tidak dapat berlepas diri dari sifat ini. Sifat ini tak pernah tumbuh pada batu dan pepohonan. Namun sebagaimana rerumputan yang tumbuh di dalam tanah perkebunan, ia harus sering-sering dibabat habis. Kalau tidak tanaman kita justru akan mati karena hama dan tanaman yang mengganggu kesuburannya. Tugas kita adalah melakukan perang terus menerus terhadap sifat yang sejatinya hanya boleh di miliki oleh Tuhan semata. Membabatnya hingga habis dalam diri kita sebelum ia tumbuh lebih besar dan membuat kita kewalahan.

Seperti yang dikatakan Al-Ghazali, tahu bahwa dirimu tidak tahu adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Aku setidaknya mengerti bahwa aku banyak tidak tahu. Aku banyak terkalahkan oleh egoisme. Aku yang tak punya kekuatan apa-apa ini mulai merangkak dari proses ketahuandiri menuju pemahaman bahwa memang aku tak tahu. Harapannya dari situ aku bisa lebih memperbaiki diri. Menghisab diri sendiri sebagaimana Umar bin Khattab menasehati.

Semarang, 16 Oktober 2017

Tag

Tinggalkan komentar